Selasa, 05 Agustus 2014

Napak Tilas Kerajaan Majapahit di Trowulan



Patung Dewa Wisnu
Sebenarnya sudah cukup lama pengen mengunjungi museum Trowulan di Mojokerto namun baru bulan Juni kemarin sempat terwujud, itupun di luar rencana dalam sebuah perjalanan dari Surabaya. Ceritanya balik dari tugas di kota Pahlawan itu saya pengen mampir ke Malang tapi gegara satu dan lain hal akhirnya harus langsung balik ke Jogja. Tapi gak mau rugi dong, udah jauh sampai sini tapi nggak mampir ke mana-mana. Ketika memasuki kota Mojokerto, langsung deh keinginan untuk mampir ke museum Trowulan tak dapat dibendung lagi. Apalagi museum ini lokasinya strategis dan tidak jauh dari jalan raya sehingga tak butuh waktu lama untuk menemukannya.  
 
Dan mulailah episode Journey to the Past dimulai.Once upon a time in Majapahit.... Dikisahkan seorang putri bernama Tribuana Tunggadewi ( byuhhh...dari dulu mengapa daku terobsesi dengan putri Majapahit satu itu ya...hihihi ) hidup dengan penuh derita di tengah kemewahan istana. Sebagai pelipur lara, sang putri gemar sekali bermain bende, alat musik dari perunggu yang pada jaman itu merupakan alat musik favorit selain kenong dan kempul. Sepertinya kita jadi tahu dari mana cikal bakal gamelan berasal. Ternyata sejak jaman Majapahit, nenek moyangku sudah pandai bermain gamelan. 
Alat musik bende

Puas mengamati alat-alat musik kuno, saya pindah ke ruang koleksi prasasti. Kalo denger nama prasasti rasanya epik dan monumental banget. Iyalah, tentu saja begitu karena sejatinya setiap peristiwa sejarah diabadikan dalam sebuah prasasti misalkan prasasti Sebaluh, Shinta dan Gosari. Khusus prasasti Shinta contohnya, berisikan  karya sastra jaman Majapahit di mana kita bisa mengetahui nama pujangga beserta karya-karya terbaiknya masa itu. Euhmm, andaikan buku nikah bentuknya seperti prasasti pasti bisa dipajang di museum biar nantinya akan dikenang anak cucu 7 turunan mendatang. Kesannya everlasting gitu ya....

Kebanyakan prasasti ditulis dalam huruf Jawa Kuno dan Pallawa yang hanya bisa kukagumi saja tanpa mengerti arti naskah secara keseluruhan. Mungkin kalo berkesempatan ke sana lagi saya akan mengajak penerjemah bahasa Kawi/Jawa Kuno dan Sansekerta supaya lebih menghayati makna tiap prasasti di sana hehehe Gayanya kayak ahli sejarah ajah euy!! Namun ada sebuah prasasti kuno berbahasa Arab menerangkan kedatangan Fatimah, salah satu muslimah pertama yang menginjak pulau Jawa. Sepertinya beliau mampir ke sini dalam rangka urusan perdagangan karena jaman itu Majapahit mencapai masa kejayaan berkat perdagangannya. 

                                                        Koleksi prasasti di museum Trowulan


Selain terkenal dengan perdagangan, Majapahit mempunyai segudang seniman berbakat terutama dalam bidang seni pahat, patung dan tembikar. Sungguh mengagumkan karya nenek moyangku itu. Dengan segala keterbatasannya, mereka mampu menghasilkan patung-patung cantik seperti patung Budha, Ganesha dan Wisnu yang begitu megah terpajang dalam ruang khusus seni patung di museum ini.
Ganesha in action


Sepanjang pengamatan saya, patung paling hits jaman itu sepertinya patung Ganesha karena di sini banyak banget koleksi Ganesha dalam berbagai gaya. Eitsss....emangnya dia suka narsis mejeng sana-sini. Enggaklah pastinya...Ganesha hanya punya dua gaya pamungkas. Duduk bersila dalam posisi lotus dengan penuh keanggunan dan satunya lagi dalam posisi berdiri tegak bagai sang pengawal semesta yang siap dengan pencerahan ilmu pengetahuan. Yah... Ganesha dalam wujud gajah itu memang terkenal sebagai dewa ilmu pengetahuan makanya sering kepake sebagai simbol dalam dunia pendidikan.


Trowulan tidak hanya memiliki museum saja mengingat nama resmi tempat ini adalah Kawasan Cagar Budaya Trowulan. Masih banyak lokasi di sekitar museum yang wajib dikunjungi seperti candi Tikus, candi Bajang Ratu, Umpak Tujuh Belas, Pendopo Agung dan lain-lain yang merupakan reruntuhan kerajaan Majapahit. Namun sayangnya, saya tidak punya waktu cukup banyak untuk mengelilingi kawasan itu sehingga agak manyun juga ketika melihat penunjuk arah ke lokasi-lokasi tersebut. Ternyata belum saatnya saya mewujudkan impian sebagai arkeolog wanna-be dan menjelajah situs ini bagaikan Indiana Jones.  

 
Kawasan cagar budaya Trowulan











Tidak ada komentar:

Posting Komentar