Sabtu, 02 Agustus 2014

Menanti Terbitnya Sang Mentari di Gunung Pananjakan



Melepas kepergiaan seseorang itu tidak harus dilakukan di tempat formal,mewah dan terkenal. Di manapun tempatnya asalkan dilakukan dengan sepenuh hati pastinya jauh lebih mengesankan. Karena kebanyakan anak buahnya hobi dolan, gunung Pananjakan pun jadi pilihan untuk perpisahan kepala bidang kami tercinta beberapa waktu lalu. Satu-satunya pejabat yang sering bikin hati kami meleleh karena ketulusannya. Farewell party paling so sweet selama saya bekerja di kantor ini.

Rombongan kami sampai di Probolinggo pas tengah malam setelah menempuh perjalanan darat dari Jogja selama hampir 10 jam. Hanya sempat merebahkan tubuh selama 1 jam di hotel karena jam 2 dinihari kami sudah harus bersiap naik. Dengan mata setengah merem, kami masuk ke mobil elf, transportasi utama menuju gunung Pananjakan yang terletak di perbatasan Probolinggo-Pasuruan. Dan seperti namanya, gunung itu area-nya menanjak-nanjak dan berkelok-kelok dengan tingkat kemiringan ekstrem. Belum lagi, kami harus senam jantung karena sopir elf ngebut tidak karuan. Rasa ngantuk langsung lenyap kala kami menghayati tiap tanjakan dan turunan sambil komat-kamit merapal mantra. Dalam kepala saya muncul lagu Ready Steady Go milik L’Arc en Ciel..... Ready steady goooooo.......

Perjalanan ngerock bersama elf berakhir satu jam kemudian ketika memasuki terminal kecil tempat mangkalnya elf, jeep dan tukang ojek yang siap menawarkan tumpangan ke sunrise view. Niat saya ke sini pengen trekking sehingga turun dari elf langsung ngacir menyusuri jalan setapak menuju ke puncak. Kabarnya, cuaca bakal super dingin dan bikin ingus meler di atas sana sehingga kami sudah siap-siap berkostum lengkap ala pendaki gunung profesional. Tapi suer deh, saya tidak sempat mengalami hipotermia dan ngerasa cuaca di sini masih dingin dalam tahap normal. Helloooooo, apakah iklim dunia benar-benar sudah rusak sehingga saya tidak merasakan dingin lagi di gunung Pananjakan?             

Meski tidak terlalu dingin namun kabut tetaplah kabut yang selalu membuat suasana muram dan misterius. Celakanya lagi, saat kami telah sampai di sunrise view si kabut tetep keukeuh tak mau pergi.Kira-kira sang mentari bakalan muncul nggak ya?dengan harap-harap cemas,kami menunggu datangnya mentari dalam kegelapan. Sempat pesimis karena udah hampir setengah lima tak ada tanda-tanda berakhirnya masa kegelapan meski kabut mulai menipis. Tak disangka-sangka sebentar kemudian nampak kilatan warna oranye menyepuh langit dari ufuk timur. Voilaaaaa..... Sunrise in the dark!! Sang mentari muncul hanya sekilas saja sebelum akhirnya harus bersembunyi lagi dibalik kabut.    

Sang mentari muncul malu-malu kucing
Oke-oke,baiklah kalo miss sunrise hanya hadir sesaat dan kemudian lenyap ditelan kabut. Nyang penting kami sudah sampai di salah satu tempat terindah di tanah Jawa untuk melepas kepergian bapak kami tercinta. Perpisahan sederhana namun sarat makna karena tak banyak kata terucap hanya kebersamaan di saat-saat akhir ini yang bisa kami nikmati. Selanjutnya, kamipun memutuskan untuk turun lagi melewati jalur trekking yang sama.

Perjalanan pulang nampaknya jauh lebih menarik karena hari mulai terang dan nampak jajaran pegunungan Tengger di sekelilingnya. Puncak gunung Bromo,Batok, Widodaren masih diselimuti kabut namun terlihat cantik dan misterius bagai kecantikan putri Majapahit. Tiba-tiba ingin kunyanyikan lagunya Katon Bagaskara.....”kunyanyikan untukmu, sebuah lagu tentang negeri di awan, di mana kedamaian menjadi istananya.....” aihhhh romantisnya mas Katon ini. Pegunungan tengger ini memang punya aura mistis luar biasa,membuat saya terpesona setengah mati dan seolah tak ingin beranjak dari sana. Terpaku menikmati ciptaan-Nya yang begitu sempurna sementara hati ini berjanji ingin kembali lagi ke tempat ini suatu hari nanti. Someday........ 
Bagai negeri di awan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar