Selasa, 04 September 2012

The Striped Pyjamas Movies



Tak butuh waktu lama untuk menemukan DVD The Boy In The Striped Pyjamas yang direkomendasikan Jeng Niez beberapa waktu lalu. Ironisnya, lagi-lagi menemukan barang bagus di rak obralan Gramed. Wah…wah…pemburu obralan yang beruntung rupanya….:))))) Good recommendation, pren!!! Namun ternyata saya tidak membutuhkan sekotak tisu untuk menonton film ini. Selembar dua lembar cukuplah coz warga Gemini tidak berbakat untuk bermellow-mellow ria tentunyah…:)))) Film tentang genosida, kamp konsentrasi, manusia berpiyama garis-garis dan semua yang berbau Nazi selalu berhasil merebut perhatian saya. Nggak heran kalo saya sukses terpaku menonton film-film kayak Schindler’s List, La Vita e Bella, The Diary of Anne Frank sampe The Boy in The Striped Pyjamas. Semuanya mengesankan…….

The Boy In The Striped Pyjamas berkisah tentang persahabatan Bruno-the Deutschland Uber Allez dengan seorang anak Yahudi bernama Shmuel yang menjadi tawanan di kamp konsentrasi. Persahabatan antar ras  kayak gini sebenarnya cukup klise yah… Udah banyak film-film yang punya tema seperti itu namun persahabatan anak-anak tidak pernah gagal mencuri hati saya. Bruno dan Shmuel yang notebene beda ras itu bisa enjoy sekali ngobrol dari hati ke hati meski dipisahkan kawat berduri. Mereka memandang dunia dari kacamata anak-anak yang teramat sangat polos, tanpa beban dan penuh rasa ingin tahu. Termasuk ketika kedua terheran-heran memandangi cerobong asap di kejauhan yang mempunyai bau busuk yang begitu menusuk hidung. Memangnya mereka membakar apa sih kok baunya kayak gini yah?? Bakar piyama-piyama itu kali yak... Abis terheran-heran gitu mereka ketawa-ketawa ceria lagi tanpa beban sedikitpun. Duhhhhh…. percakapan polos dan sederhana khas anak-anak seperti inilah yang selalu sukses melelehkan hati saya. But… please don’t cry….:)))

                                           
why do you wear pyjamas all day?

Terus terang aja kalo nonton film tentang genosida kayak gini saya lebih suka nonton pake logika ketimbang perasaan. Kalo pake perasaan rugi bangetlah lha wong kita udah tahu bakal sad ending. So nonton aja dari kacamata anak-anak yang penuh kekaguman plus curiousity. Yuppp.. saya sempat terkagum-kagum layaknya anak berusia delapan tahun ketika menyaksikan gumpalan asap hitam yang keluar dari cerobong asap di belakang rumah  Bruno itu. Ternyata bukan hanya Sinterklas ajah yang keluar masuk lewat cerobong asap namun, ribuan roh warga Yahudi pun sukses menjadikan cerobong asap sebagai jembatan menuju alam lain. The Gateway of The Sun kata suku Inca di Peru. Stairway to Heaven kata Led Zeppelin…:)))) Mudah sekali seperti membakar kayu bakar saja…hiiiiiiiii……….

Mengapa kamu pake piyama? Mengapa kamu punya nomor? Buat apa sih nomor-nomor ituh? Mengapa nenek-kakekmu meninggal? Mengapa tidak ada pemakaman nenek-kakekmu? Ribuan pertanyaan memenuhi benak Bruno kecil yang dijawab seadanya oleh Shmuel dari bibir mungilnya yang polos. Oh Shmuel….. andaikan kamu tahu…. Nomor-nomor itu seperti nomor tunggu periksa dokter ehhh..ehh…nomor tunggu menuju kematian maksudnyah…. Andaikan kamu tahu…. Nenek kakekmu hilang tak berbekas menjadi abu…. Abu yang keluar dari cerobong asap yang kau pandangi itu….

Bruno  : Why do you wear pyjamas all day?
Shmuel: The soldiers. They took all our clothes away.
Bruno  : My dad is a soldier but not the short that takes people’s clothes away.


Semua percakapan Bruno dan Shmuel memang menyentuh sekali. Adegan yang membuat hati saya mencelos paling parah justru pas keduanya ketawa-ketawa setelah membicarakan kematian nenek-kakeknya. Ketika Shmuel menjalankan bidak caturnya dari balik kawat berduri…*Ehh…Bruno dan Shmuel main apaan sih??? Catur bukan yahh?? Tapi kok bentuknya bulet-bulet gituh… model catur jadul kali ye…. penasaran….:)))* Dengan polosnya Shmuel kasih instruksi…. That one… No…. That one… No…. That one….. No……. Bruno yang kebingungan nyerah memandangi Shmuel yang tertawa kegirangan. Dan akhirnya Bruno ikut ngakak. Kedua anak itupun ketawa-tawa renyah khas anak-anak gitu. Hadeeeeeeehhhhhhhhh….. melting deh….


                                   The Boy in The Striped Pyjamas: Bruno and Shmuel

Well, saya sadar sepenuhnya kalo ending ceritanya bakal sedih banget tapi nggak nyangka akan secepat itu. Tragis dan dramatis dalam sekejap. Ini endingnya kecepatan bo!!! Tahu-tahu kok langsung muncul deretan nama pemain. Udah selesai nihhh?? Perasaan baru 70-80 menitan gituh… Yah… emang durasinya cuman segitu… Justru karena singkat dan padat itulah yang bikin film ini semakin dramatis.

Emmm… emmmm…. Setengah nggak rela filmnya selesai secepat itu sementara jatah cemilan masih cukup banyak…terpaksa saya mengaduk-aduk kardus di bawah kolong tempat tidur. Nyari sesuatu yang bisa ditonton. Voilaaaaaaaaaaa……!!!! Nemu La Vita e Bella alias Life is Beautiful…. Another pyjamas movie....:)))) Entah sudah berapa kali nonton film ini tapi tetep aja saya bisa ngakak guling-guling liat polahnya Roberto Benigni yang super duper gokil ituh. Tapi anehnya…kok saya baru sadar sekarang ya…kalo yang bikin film ini ternyata perusahaannya si Cecchi Gorri-bosnya Fiorentina di era-nya mas Bati!!!!Kupikir yang bikin film ini malahan Silvio Berlusconi lhohhh… ternyata kok malahan si keparat yang bikin Fiorentina jatuh bangkrut dan terdegradasi ke seri B itu pada jaman dahulu kala. Mamamiaaaaaaaaa……………Okksss…. Saya nggak akan ngomongin bola kok meskipun film ini made in Italy..:)))

La Vita e Bella memotret suasana kamp konsentrasi dari sisi lain yang dikisahkan dengan gaya parodi komedi yang begitu ironis. Masih bernuansa suram dengan ribuan orang berpiyama garis-garis, film ini mencoba untuk menceritakan sebuah kekejaman dengan cara yang beda. No tears, please….!!!! Film-film jenis komedi-tragedi inilah  yang seringnya kena banget di hati karena tak ada basa-basinya sama sekali, lugas namun tepat sasaran dalam memparodikan tragedi. You know what I mean? Mmmm…. Yah… seperti itulah..:))))

Bagi Guido Orefice, Life is a game…. Hidup adalah sebuah permainan belaka. Mainkanlah dan buatlah hatimu senang. Tidak heran kalo orang itu bener-bener gilaaaaaaaaaaaaaaa!!!! Ada-ada saja yang membuat saya berurai airmata karena kebanyakan ketawa. Tuhh kan…. Airmata saya memang di-setting untuk menangisi kebahagiaan bukan untuk menangisi kesedihan…aihhhhh……. Kalo melihat film ini saya jadi semakin cintahh ama Italiano….:)))) Manusia-manusia paling gokil dan penikmat kehidupan nampaknya memang terlahir dari negeri berbentuk sepatu boot ituh. So, I wanna say hello to Roberto Benigni, Roberto Mancini, Roberto de Niro…wkaakakaka… maksaaaa…. Robert de Niro… maksudnya… trusssssssss…. Roberto Roberto lainnya yang berhasil mencuri hati saya….. Ciao Carissimo…:)) Wupsssss….. sorryyyy… sorryyyy…. Susah rasanya ngomongin Italia tanpa melibatkan perasaan pribadi… Hati ini jadi suddenly full of love ajahh….ehmmm…….:))))

Kalo The Boy in The Striped Pyjamas bercerita tentang dua anak kecil beda ras, La Vita e Bella menampilkan duo anak-ayah yang beda generasi. Guido dan Joshua Orefice merupakan keturunan Yahudi yang akhirnya diciduk tentara Nazi dan dikirim ke kamp konsentrasi bersama ribuan warga Yahudi lainnya di Italia. Agar Joshua tidak shock selama menjalani kehidupan dalam kamp, Guido akhirnya menciptakan sebuah drama. Guido bilang pada anaknya kalo mereka sedang memainkan sebuah game yang sangat menarik. Layaknya sebuah permainan, Guido memaparkan rule of the game-nya kepada Joshua. So, Joshua tidak boleh nangis, merengek ini itu dan tidak boleh takut ama tentara Nazi selama hidup di tempat tersebut. Jika mereka berhasil memenangkan permainan ini maka Joshua akan mendapatkan hadiah yang berupa tank sungguhan. Joshua kecil manut-manut saja dengan semua perintah ayahnya. Kecuali kalo disuruh mandi….hihihihi… Joshua tidak suka mandi. Justru hal inilah yang menyelamatkan nyawanya. Tau nggak sih gimana modus Nazi menghabisi ribuan orang Yahudi? Ternyata dengan entengnya mereka menyuruh mandi semua tawanan. Ayo anak-anak… Lepas semua pakaiannya lalu segera masuk ke kamar mandi. Dan di kamar mandi yang berisi gas itulah mereka dikremasi…. Simple bukan???

Seperti judulnya….. film ini memang benar-benar bella bin beautiful. Setelah sepuluh tahun berlalu film ini masih saja begitu indah untuk dinikmati, diresapi, dihayati, dan dipandang mata tentu sajah. Ehmmm…bukan berarti kekejaman itu indah lho… tapi bagaimana menjalani kehidupan yang kejam itu dengan cara yang indah-indah saja… Seperti Joshua yang begitu menikmati kehidupan dalam kamp konsentrasi… Seperti kesablengan Guido dalam menjalani kehidupannya sehari-hari… Sesantai Joshua bermain petak umpet di tengah todongan senjata Nazi… Sesantai Guido dalam menghadapi kematian…….Dan….. Dannn…… seindah kawasan Tuscany tentu sajahhhhhh……… Serius, film ini bersetting di kota Arezzo, provinsi Toscana aka Tuscany pada tahun 1939. Kurang apa lagi?? Menyebut nama Tuscany saja sudah sukses membuatku terbayang hal yang indah-indah…:))))


Tuscany 1939

                                                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar