Tak
butuh waktu lama untuk menemukan DVD The Boy In The Striped Pyjamas
yang direkomendasikan Jeng Niez beberapa waktu lalu. Ironisnya,
lagi-lagi menemukan barang bagus di rak obralan Gramed. Wah…wah…pemburu
obralan yang beruntung rupanya….:))))) Good recommendation, pren!!!
Namun ternyata saya tidak membutuhkan sekotak tisu untuk menonton film
ini. Selembar dua lembar cukuplah coz warga Gemini tidak berbakat untuk
bermellow-mellow ria tentunyah…:)))) Film tentang genosida, kamp
konsentrasi, manusia berpiyama garis-garis dan semua yang berbau Nazi
selalu berhasil merebut perhatian saya. Nggak heran kalo saya sukses
terpaku menonton film-film kayak Schindler’s List, La Vita e Bella, The
Diary of Anne Frank sampe The Boy in The Striped Pyjamas. Semuanya
mengesankan…….
The
Boy In The Striped Pyjamas berkisah tentang persahabatan Bruno-the
Deutschland Uber Allez dengan seorang anak Yahudi bernama Shmuel yang
menjadi tawanan di kamp konsentrasi. Persahabatan antar ras kayak
gini sebenarnya cukup klise yah… Udah banyak film-film yang punya tema
seperti itu namun persahabatan anak-anak tidak pernah gagal mencuri hati
saya. Bruno dan Shmuel yang notebene beda ras itu bisa enjoy
sekali ngobrol dari hati ke hati meski dipisahkan kawat berduri. Mereka
memandang dunia dari kacamata anak-anak yang teramat sangat polos,
tanpa beban dan penuh rasa ingin tahu. Termasuk ketika kedua
terheran-heran memandangi cerobong asap di kejauhan yang mempunyai bau
busuk yang begitu menusuk hidung. Memangnya mereka membakar apa sih kok
baunya kayak gini yah?? Bakar piyama-piyama itu kali yak... Abis
terheran-heran gitu mereka ketawa-ketawa ceria lagi tanpa beban
sedikitpun. Duhhhhh…. percakapan polos dan sederhana khas anak-anak
seperti inilah yang selalu sukses melelehkan hati saya. But… please
don’t cry….:)))
why do you wear pyjamas all day? |
Terus
terang aja kalo nonton film tentang genosida kayak gini saya lebih suka
nonton pake logika ketimbang perasaan. Kalo pake perasaan rugi
bangetlah lha wong kita udah tahu bakal sad ending. So nonton aja dari
kacamata anak-anak yang penuh kekaguman plus curiousity.
Yuppp.. saya sempat terkagum-kagum layaknya anak berusia delapan tahun
ketika menyaksikan gumpalan asap hitam yang keluar dari cerobong asap di
belakang rumah Bruno itu. Ternyata bukan hanya
Sinterklas ajah yang keluar masuk lewat cerobong asap namun, ribuan roh
warga Yahudi pun sukses menjadikan cerobong asap sebagai jembatan menuju
alam lain. The Gateway of The Sun kata suku Inca di Peru. Stairway to
Heaven kata Led Zeppelin…:)))) Mudah sekali seperti membakar kayu bakar
saja…hiiiiiiiii……….
Mengapa
kamu pake piyama? Mengapa kamu punya nomor? Buat apa sih nomor-nomor
ituh? Mengapa nenek-kakekmu meninggal? Mengapa tidak ada pemakaman
nenek-kakekmu? Ribuan pertanyaan memenuhi benak Bruno kecil yang dijawab
seadanya oleh Shmuel dari bibir mungilnya yang polos. Oh Shmuel…..
andaikan kamu tahu…. Nomor-nomor itu seperti nomor tunggu periksa dokter
ehhh..ehh…nomor tunggu menuju kematian maksudnyah…. Andaikan kamu
tahu…. Nenek kakekmu hilang tak berbekas menjadi abu…. Abu yang keluar
dari cerobong asap yang kau pandangi itu….
Bruno : Why do you wear pyjamas all day?
Shmuel: The soldiers. They took all our clothes away.
Bruno : My dad is a soldier but not the short that takes people’s clothes away.
Semua
percakapan Bruno dan Shmuel memang menyentuh sekali. Adegan yang
membuat hati saya mencelos paling parah justru pas keduanya
ketawa-ketawa setelah membicarakan kematian nenek-kakeknya. Ketika
Shmuel menjalankan bidak caturnya dari balik kawat berduri…*Ehh…Bruno
dan Shmuel main apaan sih??? Catur bukan yahh?? Tapi kok bentuknya
bulet-bulet gituh… model catur jadul kali ye…. penasaran….:)))* Dengan
polosnya Shmuel kasih instruksi…. That one… No…. That one… No…. That
one….. No……. Bruno yang kebingungan nyerah memandangi Shmuel yang
tertawa kegirangan. Dan akhirnya Bruno ikut ngakak. Kedua anak itupun
ketawa-tawa renyah khas anak-anak gitu. Hadeeeeeeehhhhhhhhh….. melting
deh….
The Boy in The Striped Pyjamas: Bruno and Shmuel
Well,
saya sadar sepenuhnya kalo ending ceritanya bakal sedih banget tapi
nggak nyangka akan secepat itu. Tragis dan dramatis dalam sekejap. Ini
endingnya kecepatan bo!!! Tahu-tahu kok langsung muncul deretan nama
pemain. Udah selesai nihhh?? Perasaan baru 70-80 menitan gituh… Yah…
emang durasinya cuman segitu… Justru karena singkat dan padat itulah
yang bikin film ini semakin dramatis.
Emmm…
emmmm…. Setengah nggak rela filmnya selesai secepat itu sementara jatah
cemilan masih cukup banyak…terpaksa saya mengaduk-aduk kardus di bawah
kolong tempat tidur. Nyari sesuatu yang bisa ditonton.
Voilaaaaaaaaaaa……!!!! Nemu La Vita e Bella alias Life is Beautiful….
Another pyjamas movie....:)))) Entah sudah berapa kali nonton film ini
tapi tetep aja saya bisa ngakak guling-guling liat polahnya Roberto
Benigni yang super duper gokil ituh. Tapi anehnya…kok saya baru sadar
sekarang ya…kalo yang bikin film ini ternyata perusahaannya si Cecchi
Gorri-bosnya Fiorentina di era-nya mas Bati!!!!Kupikir yang bikin film
ini malahan Silvio Berlusconi lhohhh… ternyata kok malahan si keparat
yang bikin Fiorentina jatuh bangkrut dan terdegradasi ke seri B itu pada
jaman dahulu kala. Mamamiaaaaaaaaa……………Okksss…. Saya nggak akan
ngomongin bola kok meskipun film ini made in Italy..:)))
La
Vita e Bella memotret suasana kamp konsentrasi dari sisi lain yang
dikisahkan dengan gaya parodi komedi yang begitu ironis. Masih bernuansa
suram dengan ribuan orang berpiyama garis-garis, film ini mencoba untuk
menceritakan sebuah kekejaman dengan cara yang beda. No tears,
please….!!!! Film-film jenis komedi-tragedi inilah yang
seringnya kena banget di hati karena tak ada basa-basinya sama sekali,
lugas namun tepat sasaran dalam memparodikan tragedi. You know what I
mean? Mmmm…. Yah… seperti itulah..:))))
Bagi
Guido Orefice, Life is a game…. Hidup adalah sebuah permainan belaka.
Mainkanlah dan buatlah hatimu senang. Tidak heran kalo orang itu
bener-bener gilaaaaaaaaaaaaaaa!!!! Ada-ada saja yang membuat saya
berurai airmata karena kebanyakan ketawa. Tuhh kan….
Airmata saya memang di-setting untuk menangisi kebahagiaan bukan untuk
menangisi kesedihan…aihhhhh……. Kalo melihat film ini saya jadi semakin
cintahh ama Italiano….:)))) Manusia-manusia paling gokil dan penikmat
kehidupan nampaknya memang terlahir dari negeri berbentuk sepatu boot
ituh. So, I wanna say hello to Roberto Benigni, Roberto Mancini, Roberto
de Niro…wkaakakaka… maksaaaa…. Robert de Niro… maksudnya…
trusssssssss…. Roberto Roberto lainnya yang berhasil mencuri hati
saya….. Ciao Carissimo…:)) Wupsssss….. sorryyyy… sorryyyy…. Susah
rasanya ngomongin Italia tanpa melibatkan perasaan pribadi… Hati ini
jadi suddenly full of love ajahh….ehmmm…….:))))
Kalo
The Boy in The Striped Pyjamas bercerita tentang dua anak kecil beda
ras, La Vita e Bella menampilkan duo anak-ayah yang beda generasi. Guido
dan Joshua Orefice merupakan keturunan Yahudi yang akhirnya diciduk
tentara Nazi dan dikirim ke kamp konsentrasi bersama ribuan warga Yahudi
lainnya di Italia. Agar Joshua tidak shock selama
menjalani kehidupan dalam kamp, Guido akhirnya menciptakan sebuah drama.
Guido bilang pada anaknya kalo mereka sedang memainkan sebuah game
yang sangat menarik. Layaknya sebuah permainan, Guido memaparkan rule
of the game-nya kepada Joshua. So, Joshua tidak boleh nangis, merengek
ini itu dan tidak boleh takut ama tentara Nazi selama hidup di tempat
tersebut. Jika mereka berhasil memenangkan permainan ini maka Joshua
akan mendapatkan hadiah yang berupa tank sungguhan. Joshua kecil
manut-manut saja dengan semua perintah ayahnya. Kecuali kalo disuruh
mandi….hihihihi… Joshua tidak suka mandi. Justru hal inilah yang
menyelamatkan nyawanya. Tau nggak sih gimana modus Nazi menghabisi
ribuan orang Yahudi? Ternyata dengan entengnya mereka menyuruh mandi
semua tawanan. Ayo anak-anak… Lepas semua pakaiannya lalu segera masuk
ke kamar mandi. Dan di kamar mandi yang berisi gas itulah mereka
dikremasi…. Simple bukan???
Seperti judulnya….. film ini memang benar-benar bella bin beautiful. Setelah
sepuluh tahun berlalu film ini masih saja begitu indah untuk dinikmati,
diresapi, dihayati, dan dipandang mata tentu sajah. Ehmmm…bukan berarti
kekejaman itu indah lho… tapi bagaimana menjalani kehidupan yang kejam
itu dengan cara yang indah-indah saja… Seperti Joshua yang begitu
menikmati kehidupan dalam kamp konsentrasi… Seperti kesablengan Guido
dalam menjalani kehidupannya sehari-hari… Sesantai Joshua bermain petak
umpet di tengah todongan senjata Nazi… Sesantai Guido dalam menghadapi
kematian…….Dan….. Dannn…… seindah kawasan Tuscany tentu sajahhhhhh………
Serius, film ini bersetting di kota Arezzo, provinsi Toscana aka Tuscany
pada tahun 1939. Kurang apa lagi?? Menyebut nama Tuscany saja sudah
sukses membuatku terbayang hal yang indah-indah…:))))
Tuscany 1939 |